Notification

×

Iklan

Pentingnya Pendidikan Filsafat di Pesantren untuk Membentuk Pemikiran Santri yang Kritis dan Inovatif

Rabu, 02 Oktober 2024 | 09:03 WIB Last Updated 2024-10-02T02:06:07Z
Foto/Husna Mahmudah/Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta/Aktivis Perempuan
Di tengah arus perkembangan modernisasi dan globalisasi, pesantren memiliki tanggung jawab besar, bukan hanya sekadar menjadi lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai arsitek pemikiran generasi muda. Untuk itu, integrasi pendidikan filsafat di pesantren menjadi sangat relevan agar dapat melahirkan santri yang tidak hanya religius, tetapi juga pemikir kritis dan inovatif.

Pendidikan filsafat memungkinkan para santri untuk menggali makna lebih dalam dari ajaran yang diterima. Mereka diajak untuk tidak hanya menerima, tetapi juga bertanya, memahami, dan merenungkan setiap pelajaran yang didapat. Dengan begitu, santri memperoleh pemahaman dan keyakinan yang lebih mendasar.

Imam Al-Ghazali, seorang filsuf muslim terkenal, dalam karyanya Maqasid Al-Falasifah menyatakan, "Rasionalitas tanpa spiritualitas adalah kekeringan jiwa, sementara spiritualitas tanpa rasionalitas adalah kebodohan" (Al-Ghazali, 2024). Ini menegaskan pentingnya integrasi antara akal dan iman dalam mencapai pemahaman yang utuh. Pendekatan ini menunjukkan bahwa akal dan wahyu memiliki peran penting dalam pencarian kebenaran, serta keduanya saling melengkapi, bukan saling bertentangan.

Pendidikan filsafat juga berperan penting dalam memandu moral santri. Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari menekankan pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari, mengaitkan ajaran agama dengan praktik moral yang baik (Amin Nurbaedi, 2018). Demikian juga, Muhammad Natsir, tokoh agama sekaligus pemikir filsafat, menggabungkan ajaran filsafat dengan praktik etika untuk menjadikan nilai-nilai moral sebagai landasan dalam berinteraksi sosial (Yulita Putri, 2023). Berdasarkan pemikiran ini, santri diajarkan untuk mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka, serta membekali diri dengan prinsip-prinsip moral yang kuat.

Kemampuan berpikir kritis juga menjadi kebutuhan yang mendesak di era informasi saat ini. Pendidikan filsafat di pesantren menjadi solusi agar santri mampu menganalisis argumen, menilai bukti, dan merumuskan pendapat yang kuat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya PRISMA, di mana beliau menyatakan bahwa "Pendidikan di pesantren harus mampu membentuk individu yang tidak hanya paham agama, tetapi juga kritis terhadap kondisi sosial dan politik di sekitarnya" (Abdurrahman Wahid, 2010). Pernyataan ini menekankan pentingnya pengembangan pemikiran kritis di kalangan santri dan masyarakat, serta mencakup kajian filsafat untuk memahami realitas lebih mendalam.

Dengan pendidikan filsafat, santri juga dilatih untuk berdialog dengan berbagai pandangan, yang sangat penting di tengah perkembangan pemikiran yang semakin plural. Ini membentuk perilaku toleran dan terbuka, sehingga santri mampu mewujudkan lingkungan yang harmonis dan damai. Dengan demikian, santri dapat menjadi solusi dalam membangun masyarakat yang inklusif dan saling menghormati.

Kesimpulannya, pendidikan filsafat di pesantren tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi sebuah kebutuhan. Pesantren yang mengintegrasikan filsafat dalam kurikulum mereka akan mampu melahirkan santri yang memiliki kemampuan berpikir kritis, memahami etika, dan bersikap terbuka. Pesantren akan menjadi arsitek pemikiran generasi muda yang membentuk generasi cerdas, berperilaku baik, dan mampu memberikan inovasi serta solusi bagi tantangan zaman. Perspektif yang lebih luas mengartikan bahwa filsafat bukan hanya ilmu, tetapi seni dalam membentuk karakter dan pemikiran generasi muda, menjadi arsitek yang siap membangun generasi masa depan yang cerdas dan beradab.

Penulis : Husna Mahmudah
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Iklan

×
Berita Terbaru Update