Menurut Ihsanudin (52), Ketua Pengelola Desa Wisata Tunjungan, inisiatif ini dimulai sekitar 10 tahun lalu. Beberapa warga menanam tanaman hias, khususnya bunga bogenvil, di pekarangan rumah mereka. Keindahan bunga tersebut berhasil menarik perhatian pengunjung, dan sejak itu desa ini dikenal sebagai Kampung Bunga Bogenvil.
Kini, dengan sekitar 28 green house yang memproduksi bunga bogenvil, popularitas kampung ini tak hanya membawa keindahan, tetapi juga peluang ekonomi bagi masyarakat desa. Para pemuda yang sebelumnya merantau kini kembali ke kampung halaman untuk memanfaatkan potensi lokal. Mereka membuka green house untuk wisatawan dan memperluas jangkauan penjualan melalui platform online.
“Awalnya kita hanya melayani pembeli offline, tapi sekarang para pemuda sudah merambah penjualan online, terutama lewat media sosial seperti TikTok,” jelas Ihsanudin kepada tim Pituruh News, 12/09/2024 kemarin.
Dalam satu sesi live di TikTok, para pemuda desa bisa menjual puluhan batang bunga bogenvil. Bogenvil dipilih sebagai komoditas karena harganya yang stabil, modal yang murah, dan potensi keuntungan yang tinggi. Desa ini memiliki hingga 250 jenis bogenvil, baik lokal maupun impor, dengan harga bervariasi mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 1 juta per batang.
Prapto (32), salah satu pemilik green house, mengatakan bahwa tingginya permintaan terutama terjadi saat musim kemarau ketika bunga bogenvil sedang mekar. Dalam sebulan, penjualan bisa mencapai Rp 10 juta. Beberapa jenis bogenvil yang dibudidayakan antara lain black maria, SJ mini, fatimah, dan ekor musang putih.
Dengan keberhasilan ini, Kampung Bunga Bogenvil di Desa Tunjungan menjadi contoh pemberdayaan pemuda desa sekaligus pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal yang layak ditiru.
Lihat dan temukan berita lainnya di Google News, Pituruh News