Purworejo atau adiluhung dengan julukan Bagelen tiada habis untuk menggali dan mengupas akan sosok-sosok para puteranya. Dari pemikiran, sumbangsih dan gerakan yang juga bermanfaat untuk menyongsong kemajuan bumi pertiwi terus bergulir. Pun sampai sekarang.
Tentu saja masih banyak kurangnya dan buku Ensiklopedia ini hanya sedikit sekali bahasannya atau sebagian. Seperti salah satu sosok dari Ngandagan Pituruh kali ini. Beliau yang hanya seorang Lurah tapi dengan idea, dan ketauladanan dalam kepemimpinan Lurahnya periode 1946-1963 ini menjadi catatan yang menyejarah, abadi dan melegenda sampai kapanpun.
Ngandagan adalah sebuah desa kecil di kecamatan Pituruh. Berbatasan dengan desa Kapiteran, Kalikotes, Kesawen dan Wonosari dll ini menjadi kajian, legenda dan riset pada masa nya atau setelahnya. Masyhur adanya dibawah kepemimpinan Sang Lurah Mardikun Sumotirto sendiri. Salah satunya ialah ada nya judul penelitian “Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan Sampai Porto Alegre) karangan Dr. Ir. Gunawan Wiradi M. Soc. S.c. Beliau memang seorang Lurah yang visioner, tegas dengan sikap otoriter nya.
Desa Ngandagan dalam naungannya merasakan betul bagaimana kemajuan dan kemakmuran menghampiri. Di bawah kepemimpinan Sumotirto tidak ada warga desa yang malas, juga tidak ada maling berani mengusik ketentraman desa. Bahkan ada idiom “tidak ada rumput yang boleh tumbuh megotori jalan desa Ngandagan”. Ini untuk menggambarkan bagaimana disiplinnya dan satu komando warga pada sang Lurah nya saat itu.
Walaupun terkesan otoriter dan disiplin semua warga desa saat itu merasakan kemakmuran dan ketentraman.
Jadilah Desa Ngandagan menjadi desa percontohan nasional. Sepanjang jalan yang bersih ditaburi kerikil, kiri-kanan jalan ditanami pohon jagung, ketela, pepaya unggul dengan buah sangat lebat dan besar. Dari kejauhan bukit yang menghijau ditanami pohon jeruk dan buahnya juga sangat lebat. Dibawahnya terdapat kolam ikan dengan ikan macam-macam dimana airnya yang sangat besar dan jernih.
Di ujung bukit yang kelihatan ke depan karena terletak di ketinggian, terdapat tempat peristirahatan Gua Gunung Pencu. Di sinilah sebagai centrum atau stupa hidup akan jejak dan nilai kepemimpinan juga ditorehkan oleh Lurah Sumotirto.
Banyak sekali gebrakan dan idea Beliau yang sampai sekarang masih tersiar. Pun sudah berganti generasi. Yang pertama tentu sja dengan kebijakan atau reformasi agraria lokal khas Ngandagan. Jika ingin details membaca bisa ke Sajogjo Institute di Bogor, atau di seluruh kampus yang ada kajian hukum agrarian dan ilmu pedesaan. Pasti ada pemikiran dan kajian tentang langkah Lurah Sumotirto ini.
Lalu kebijakan lainnya antara lain menanggung biaya hajatan dan khitanan warga nya secara masal, menikahkan 21 pasangan desa Ngandagan secara bersamaan, kebijakan resettlement atau pindahkan warga gunung ke pemukiman, melarang menjual hasil tani ke tengkulak, mengatur ulang pola kepemilikan tanah dan sekaligus re struktur penggarapannya dan masih banyak lainnya.
Desa ini sudah banyak mengurai sejarah yang sangat panjang. Sepanjang Republik ini dalam menyemai hasil kemerdekaannya selama 70 tahun. Bung Karno yang datang ke sini tahun 1947 pun berpidato, mengajar bahasa Jawa sekaligus mengamati keberhasilan desa ini dalam pemberantasan buta huruf dan idea kebijakan desa yang telah berhasil diterapkan oleh Lurah Sumotirto.
Dan beginilah nasib sebuah bangsa dan arena di dalamnya. Bagaimana secara terang-terangan sang Lurah idaman segenap rakyat desa Ngandagan ini yang secara total mencoba membingkai dan membuat jaya desanya. Beliau adalah salah satu anggota Sarikat Islam Merah. Pun dengan kemoderatannya beliau tidak terlalu memaksakan hegemoni pribadinya ke pada warga. Namun dinamika sejarah dan realita hidup kadang berjalan sebaliknya.
Jiwa nasionalis khas, dan upaya nyata dari Sang Lurah dimana semisal membuat bekas petilasan sakral lagi mistik Goa Pencu menjadi zonasi diorama penuh semangat wawasan kebangsaan dan nasionalisme.
Di sana ada patung RA Kartini, Diponegoro, slogan-slogan kemerdekaan dan spiritisme serta ada prasasti dari Soekarno.
Tetap, sejarah akan berbicara dan mengurai sendiri kisahnya. Bagaimana senyatanya barang sekecil apapun, akan disembunyikan. Sebuah kebenaran dan kebatilan senantiasa berhadapan. Pun yang kesejatian akan menang. Putih tetap akan menggelegar. Entah kapan waktunya dan siapa yang memulai.
Sang pencetus reforma agraria lokal pertama di Indonesia ini. Dengan kepribadian kompleks. Pro kontra kebijakannya. Telah lama terjadi dan sekarang tepat terpaut 60 tahun berlalu peristiwa ini. Ngandagan tetap ada dan bisa kita belajar dari Ngandagan dan Lurah Samadikun Sumotirto. Bagaimana kita berani dengan prinsip kita, maju terus walau akan terserak kalah atau terus melaju dan kuat bertahan. Ini adalah sebuah pilihan dan konsekuensi Iogis dari pilihan itu sendiri.
Source: Mutiara dari Bagelen 2/Photo: Ahmad Nasih Luthfie
Sumber : https://purworejo-connect.org/mardikun-sumotirto-perintis-reforma-agraria-lokal-di-indonesia/