Notification

×

Iklan


Tak Hilang Ditelan Jaman, Kesenian Janeng Tetap Lestari

Selasa, 04 September 2018 | 23:04 WIB Last Updated 2018-09-04T16:04:21Z

MEGULUNGLOR, (pituruhnews.com) Islam sebagai sebuah tradisi yang berinteraksi dengan tradisi lain seringkali menciptakan tradisi baru. Sebuah tradisi hasil hibridasi antara Islam di satu sisi dan tradisi lokal pada sisi yang lain. Pada masyarakat Jawa hasil hibridasi ini kemudian dikenal dengan Islam-Jawa yang merupakanbentukan dari akulturasi dengan kebudayaan lokal. Kenyataan ini semakin memperkokoh pandangan bahwa Islam tidaklah hanya berupa sekumpulan doktrin. Melainkan juga, Islam dihayati dan diamalkan oleh para pemeluknya menjadi sebuah realitas kebudayaan. Dengan begitu, akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan lokal adalah bagian dari sekian banyak ekspresi Islam sebagai pandangan hidup dan sumber inspirasi bagi tindakan para Pemeluknya.

Salah satu realitas budaya yang dihasilkan dari kehidupan masyaraka Muslim Jawa adalah seni musik tradisional Jawa-Islam. Ekspresi kebudayaan Islam-Jawa dalam seni musik ini sangat beragam, dan mencerminkan keberagaman “wajah” Islam yang telah beradaptasi dengan budaya lokal. Beberapa kesenian tersebut Kencreng Jidor, rebana, hadrah, gambus, qasidah, gambang shalawatan, kentrung, santiswaran, gending banyumasan, Janengan, rengkong, rampak religi, rodad, dan nasid. Bahkan jenis-jenis musik tersebut saling berkolaborasi untuk menciptakan harmoni musik yang khas. Kekhasan kebudayaan ini merupakan fakta yang tidak terbantahkan dalam perkembangan Islam di Jawa, bahwa berbagai bentuk seni budaya Islam yang berkembang di Jawa tidak terdapat di Arab.


Janeng berasal dari salah satu seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di Kebumen. Sebagian masyarakat Kebumen menyebutnya dengan shalawat Jamjaneng, sebagian yang lain menyebutnya dengan Janengan. Meskipun dari segi unsur pembentuknya seni ini mirip dengan seni tradisi lain seperti srakal dan jembrung yang berkembang luas di Jawa Timur dan Jawa Tengah masyarakat Kebumen menyebut seni tradisi ini sebagai khas musik tradisional Kebumen. Hal ini karena seni Janengan tidak berkembang di wilayah lain di sekitar Kebumen seperti Purworejo, Wonosobo, Banjarnegara dan Purbalingga. Sebaliknya hampir di seluruh desa di Kebumen terdapat kelompok Janengan ini. 

Para pemilik tradisi Janengan menuturkan bahwa Janengan merupakan warisan tradisi Islam yang diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak masa awal perkembangan Islam. Mereka melihat Janengan sebagai seni khas Islam Kebumen yang sudah barang tentu berbeda dengan seni tradisi lain yang seperti dolalak di Purworejo. Sulit dilacak mulai kapan seni Janengan di Kebumen mulai ada. Para pemilik kelompok dan pemain Janengan tampaknya bersepakat bahwa Janengan berasal dari kata “Zamjani”, nama tokoh yang dipercaya sebagai pencipta musik tradisional Islam-Jawa ini. Tradisi masyarakat setempat mempercayai Syekh Zamjani merupakan tokoh yang memadukan syair-syair yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan musik Jawa ciptaan Ibrahim al-Samarqandi (Brahim Samarkandi). Tokoh ini diperkirakan hidup pada abad ke-15-16, masa dimana Islam berkembang pesat di Tanah Jawa. 
 
Menurut penuturan tokoh setempat Syekh Zamjani berasal dari Kutawinangun, yaitu tempat asal pendiri Kebumen yang bernama Joko Sangrib. Paduan Syair dan musik Jawa oleh Syekh Zamjani itulah yang kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai Janengan. Seni tradisi Janengan sebagaimana seni tradisi lainnya tentu menghadapi tantangan zaman yang sangat berat. Pada awalnya seiring dengan perkembangan Islam di Jawa Janengan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam-Jawa yang menghasilkan berbagi varian tradisi Islam.

Seni tradisi Janengan memadukan musik Jawa dan syi’iran (singiran). Dalam Janengan lagu syi’iran terdiri dari shalawat dan syi’ir Jawa. Namun juga terdapat lagu-lagu Janengan yang hanya terdiri dari bait-bait lagu syi’ir Jawa. Salah satu teknik menyanyikan lagu-lagu dalam Janengan adalah penyanyi melagukannya dengan suara melengking dan dengan nada yang sangat tinggi. Kemampuan bernyanyi semacam ini jarang dimiliki, para pegiatseni Janengan. Oleh karena itu pemimpin Kelompok Janengan yang ada sekarang kebanyakan telah merubah teknik semacam ini dan menggantinya dengan nada yang lebih rendah dan tidak melengking. Karena alasan ini pula biasanya pimpinan Janengan yang biasanya disebut dengan dalang merupakan orang yang memiliki kemampuan dan kualitas suara melengking. Dalang merupakan pemimpin kelompok Janengan yeng bertugas mengatur irama Janengan dari mulai pembukaan sampai penutup.

Alat yang digunakan yaitu ukel (terbang kecil 1, sedang 1 dan besar). jidor (1 buah). Sedangkan untuk alat musik pukul menggunakan angklung pukul). 

Lagu yang di bawakan Janengan berupa shalawat yang dikomibinasi dengan syair atau yang biasa dikenal dengan singir. Oleh karenanya sebagian masyarakat menyebutnya dengan shalawat Janengan. Dari sudut material naskah lagulagu Janengan sebagaimana naskah-naskah syi’iran yang tersebar pada masyarakat Jawa pada awalnya ditulis dalam huruf Arab pegon. Akan tetapi perkembangan baru masyarakat lebih familiar dengan huruf Latin ketimbang huruf pegon, maka naskah-naskah tersebut ditransliterasi dengan huruf huruf Latin.  

Tidak hanya di lestarikan di Kebuman, Warga masyarakat Purworejo juga ikut dalam menguri uri kesenian ini, salah satu di Desa Megulunglor dan Kalikotes, Kecamatan Pituruh. Setiap dua minggu sekali mengadakan latihan bersama di selingi dengan arisan, agar kesenian tidak punah, 

Harapan dari anggota janeng ini ada yang ikut melestarikan kesenian ini tidak hanya orang tua, anak mudapun juga ikut menjaga dan menguri-uri.

Sumber : http://muslimlokal.blogspot.com/2014/02/tradisi-janengan-di-kebumen.html
×
Berita Terbaru Update